Jumat, 06 Juni 2008
Reformasi Mesti Dilanjutkan dari Kampus Ini
Oleh Abdullah Khusairi-Jakarta
Wawancara Imajiner dengan Pahlawan Reformasi
Jakarta mulai malam. Senja itu, Sabtu (17/5/08), Bundaran HI makin remang. Lampu jalanan mulai menyala. Kami duduk di sebuah halte, memandang sepasang patung, air mancur dan orang-orang yang lewat. Bundaran ini, sering menjadi tempat orasi mahasiswa yang menggalang massa menyuarakan aspirasi.
Reformasi di negeri ini belum usai. Titik gerak 21 Mei 1998 sudah sepuluh tahun berlalu, tapi agenda reformasi belum banyak yang berhasil. Laksana layang-layang, agenda reformasi masih melayang-layang mengikuti permainan angin politik yang membawanya. Siapa yang bertanggung jawab atas agenda reformasi yang telah bergulir ini? Pertanyaan ini bergulir di kepala sendiri. Saya terkejut, ada yang menjawab setiap pertanyaan yang lahir itu. Ia membisikkannya dengan jelas di telinga saya.
Kini, ada banyak orang yang mengaku pejuang reformasi, sayangnya jauh dari kesan semangat reformis. Ia muncul dengan sendirinya, menyatakan dirinya seorang pejuang reformasi. Bagi masyarakat kampus, ini perlu diragukan agar reformasi tidak salah arah.
Siapa Anda yang mengganggu saya sedang bertanya pada diri sendiri?
Apa perlumu terhadap aku? Agenda reformasi itu bergantung tidak bertali di atas cita-cita bangsa. Sedangkan negara---siapapun yang sedang berkuasa---terus memperlihatkan arogansi menekan rakyat atas nama kesejateraan rakyat. Keberpihakan terhadap semangat reformasi dan agenda reformasi makin kabur saja. Satu-satunya jalan untuk mengamankan anggaran hanya dengan menaikkan harga BBM. Rakyat jugalah yang makin sengsara dengan mahalnya harga barang. Mahasiswa diam. Penguasa mengutamakan seremoni dari pada substansi. Satu Abad Kebangkitan Nasional jadi upacara besar, mengundang artis dengan APBN, sedangkan rakyat dibiarkan sengsara. Bangkitlah! Katakan pada mahasiswa di kampus-kampus.
Saya segera tamat. Saya akan diwisuda?
Hari ini, mahasiswa bergerak pada kancah dan rotasi yang tidak pada jalur lanjutan reformasi itu. Justru peta perpecahan dan kepicikan yang terlihat. Memang mereka tak bersentuhan dengan mahasiswa reformasi, tetapi tolong katakan kepada mereka, perjuangan dari pergerakan mahasiswa dilanjutkan. Jangan diam saja. Kalau hanya menunggu kesempatan, akan kalah dengan orang yang mencari kesempatan. Menunggu, tidak akan membuat perubahan. Mahasiswa yang baik adalah membaca buku dan membaca keadaan sekelilingnya. Bukan membuat kelompok-kelompok yang berpikir mazhab kecil-kecil. Berpikir besarlah!
Apa pendapatmu tentang agenda reformasi yang sedang berjalan?
Agenda reformasi, otonomi daerah, kebebasan pers, penegakan hukum, domokratisasi, perbaikan ekonomi, masih terus bergulir. Ada yang jalan di tempat dan ada pula yang melaju kencang. Semua itu membutuhkan pengawalan ketat. Pertanyaannya, dimana posisi mahasiswa saat ini? Akankah masih diam menjadi penonton dalam kebingungan sejarah sendiri? Selain pro aktif mahasiswa dan elemen di dalamnya, juga perlu selalu ada penyadaran terhadap fungsi mahasiswa dalam setiap sejarah berbagai negara. Inilah yang bisa mendorong bisa tumbuh dan berkembangnya jiwa kritis dan berpikir maju. Tidak mandeg dan diam melihat persoalan di sekitar diri sendiri. Ingat! kekuasaan itu penting, tetapi cenderung disalahgunakan, jika masih ada tanggung jawab melanjutkan gerakan reformasi, mahasiswa mesti bangkit.
Kenapa anda tidak langsung terjun kembali ke tengah-tengah masiswa itu?
Tak satupun lagi yang aku kenal di kampus. Mereka, mahasiswa hari ini, adalah generasi baru. Banyak dari mereka sibuk pada dirinya sendiri, terpengaruh oleh budaya hedonis dan apatisme.
Tapi ada sebagian yang tumbuh dan besar mengikuti jalur perjuangan reformasi. Mereka kritis dan terus berjuang?
Ah! Sebagian kecil saja itu. Banyak yang sudah terkontaminasi dengan politik praktis. masuk partai belum waktunya. Berpikir sempit dan mau menang sendiri. Sayang sekali. Tolonglah teman. Kita agaknya pernah berdekatan, tapi tak bersentuhan. Bangkitkanlah mahasiswa di hari kebangkitan nasional yang telah satu abad ini. Beri mereka bekal pikiran yang jernih dan berani. Merubah kampusnya dari birokrasi yang kuno menjadi berteknologi tinggi. Merubah daerah mereka menjadi daerah yang maju dan bersih dari KKN. Merubah negeri ini menjadi makmur dan berpihak pada kerakyatan.
Tolong katakan siapa Anda? Itu saja. Saya mulai panik dan takut. Suaranya ada di telinga, tapi wujudnya tak ada.
Saya. Saya. Salah seorang dari mereka yang ditakdirkan pergi dari sini karena ketamakan kekuasaan dan kebodohan. Maafkan saya mengganggu perjalanan anda. Anda akan tahu siapa saya nanti, selamat malam.
Deru bis kota menghapus suaranya. Malam memang bergulir cepat. Seorang teman menepuk bahu. Perjalanan mesti dilanjutkan. Aku masih linglung. Adakah dia salah seorang dari mereka yang pernah diterjang peluru waktu itu... []
Soekarno Hatta, Cengkareng, 18 Mei 2008, Pukul 11.45 WIB
Demokrasi lipstick di Kampus Bibir
Saya kuatir kalau-kalau perguruan/sekolah nanti tak biasa menolak provokasi dan kalau-kalau dasar didikan sama sekali ditunjuk kepada propaganda dan agitasi politik semata, maka perlu diadakan semacam keterampilan (Tan Malaka, Dari Penjara Kepenjara).
Sebab tujuan pendidikan bukan hanya sekedar mencari pekerjaan namun merintis pengalaman meskipun pada akhir buruannya kerja dan ijazah bukanlah jaminan efficiency melainkan suatu kemungkinan buat kesanggupan. Seperti ciloteh salah seorang dosen saya, “jika bisa sabar gelar doctor atau profesor pasti ditangan”. Mungkin kita sudah sama maklum bila di negara kita yang kaya-raya tapi melarat ini mencari pekerjaan seperti ayam dikasih makan dan itupun tak pandang bulu. Jika bapaknya hakim, anak biasa jadi hakim, jika mertua dosen menantunya pasti diterima jadi dosen. Perkara mampu atau tidak itu nomor sekian dan itu semua perkara kesempatan.
Untuk memperkuat pengalaman dibelakang hari, pengalaman atau keterampilan yang dimaksud bukanlah sebuah perkerjaan yang tersambil, tapi sebuah harapan bagaimana sebuah kampus biasa menghasilkan jebolan yang beridiologi suci, beriman baja, mandiri dan bermasyarakat. Kehadiran lembaga yang terstruktur seperti BEM jurusan, BEM fakultas, BEM Institut/Universitas dan Unit Kegitan Mahasiswa (UKM) yang beranekaragam Olahraga, KSR-PMI, Teater, Pers mahasiswa dan lain-lain sebagai dunia pembelajaran bagi mahasiswa yang haus kreatifitas yang memberi sumbangsi besar bagi kampus itu sendiri, namun bergabung dengan lembaga mahasiswa apapun berarti harus bersedia makan hati. Kadang jadi lampiasan sebahagian dosen, kadang pada waktu-waktu tertentu harus memilih antara kuliah dan UKM.
Ada juga sebahagian kawan yang berurusan dengan kuliah hingga semester haram (7 th). Kadang terpaksa DO dan sebagian bisa menyelesaikan studi dalam waktu yang lebih baik, tapi itu semua pilihan sebenarnya, sebab jika menginginkan sesuatu harus berani kehilangan sesuatu
Pengembangan kegiatan mahasiswa di kampus menjadi pembicaraan yang hangat pada tiap-tiap kampus tak ketinggalan pula IAIN Imam Bonjol Padang yang berkiblat ke ka’bah ini. Ibarat api dalam sekam, mungkin itu kalimat yang pantas buat mengenang nasib UKM di kampus yang malang ini. Sudah bertahun-tahun berbuat tapi tetap saja digusur kian-kemari. Entah apa yang terjadi di kampus ini, tiap kali ganti pimpinan, UKM selalu menjadi tumbal dan penempatan peran yang terkesan memanfaatkan yang akhirnya membeda-bedakan status mahasiswa, seperti UKM Menwa dan Satpam yang ditugaskan menstop mahasiswa yang berboncengan masuk kampus. Kenapa harus dilarang. Bukankah mahasiswa sudah dewasa dan paham benar tentang ini? meskipun berboncengan itu tidak Islami maka pihak keamanan kampus/satpam yang seharusnya punya gawe. Kelihatannya ada status/derajat plus terhadap UKM tersebut padahal sama-sama mahasiswa dan takutnya nanti akan bermuncul kelompok yang merasa lebih sempurna.
Kita juga harus belajar kepada musabab tuntutan pembubaran UKM Menwa di Universitas Bung Hatta oleh mahasiswa. Penguasaan masjid kampus oleh salah satu UKM yang merusak kenyamanan beribadah padahal UNAND sudah lebih dahulu memberi contoh dengan menetralkan masjid pertanda milik bersama serta misteri pemindahan UKM dari gedung di belakang Fakultas Dakwah (yang kini lokal kuliah Fakultas Dakwa dan Fakultas Ilmu Budaya-ADAB) pada masa pemerintahan Prof. Maidir Harun dan PR III ketika itu Dr, Asasriwarni,M,Ag ke gedung Student Center (SC) pada Tahun 2003 yang dijanjikan fasilitas VIP. Mungkin kronologisnya tak perlu diuraikan lagi serta pemindahan UKM ke “penjara mini” di gedung Serba Guna dan Auditorium yang dikotak-kotak bak kandang burung Merpati yang bila hujan datang harus gulung tikar dan mandi hujan sekaligus bikin kolam ikan. SC pada akhirnya selesai disulap jadi lokal kuliah pada awal semester genap April 2008. Fakaultas Tarbiyah menduduki SC secara diam-diam sementara kesepakatan yang dibuat di meja sidang putus ditengah jalan.
Pada jumpa Pers UKM dengan PR II dan PR III yang diadakan Suara Kampus pada April 2008 alhasil PR II, Dr.Bukhari tampa beban mengaku tidak tau sama sekali tentang perjanjian UKM dengan pimpinan IAIN. Gedung SC Milik Fakultas Tarbiyah dan UKM diharap bersabar karena bila dana ada akan dibangun SC yang permanent disebelah kantor dekanat Ushuluddin ujar Salmadanis. Dalam jumpa pers tersebut juga dibicarakan tentang perencanaan pemindahan UKM ke gedung bekas kantor rector/LDQ kecuali UKM Musik dan UKM Teater yang masih difikirkan tempat yang layak untuk keduanya. Keterbengkalaian UKM dan lembaga mahasiswa lainnya adalah dampak dari tidak terpimpin pimpinan kita. Andai saja kebijakan di kampus ini berimbang mungkin kampus ini tak akan penuh dengan teka-teki.
Barangkali komplik-komplik yang muncul di kampus ini serupa bingung yang tak berlabuh. Jasa almamater yang tidak dihargai, permasalahan birokrasi yang lamban serta tidak profesional, sistem belajar jauh dari kebutuhan, satu kali pertemuan (kuliah) tampil tiga pemakalah sekaligus, mahasiswa sibuk diluar karna tak betah dalam kelas, dosen sibuk politik sampai lupa tugas. Masjid tak punya WC, UKM tak punya WC malu kita pada kawan dari kampus lain yang sengaja bertamu, di fakultas terjadi antrian panjang di WC kayak mengantri minyak tanah kecuali WC dosen dan pimpinan. Penyerahan KHS harus menunggu semester depan sementara nilai yang keluar nyicil kayak angsuran bank dan pembangunan yang diluar logika adalah catatan panjang dan dosa warisan bagi penghuni kampus ini. Permasalahan apa upaya para pimpinan IAIN kedepan tak perlu pula kita mengguruinya akan tetapi bagaimanapun juga logika tanpa logistic sama dengan anarkis. Kiranya perkelahian sesama kerbau akan menimbulkan dampak yang tidak bagus bagi rumput dan ketidak berdayaan rumput adalah momen tepat bagi para kerbau untuk berkecamuk-amuk dalam memperebutkan kekuasaan. Kiranya kepada para rumput sesekali berteriaklah sebab berteriak itu tidak salah dan tak akan mengurangi nilai kerumputan yang ada.
Firdaus Diezo, S.Hi
Sebab tujuan pendidikan bukan hanya sekedar mencari pekerjaan namun merintis pengalaman meskipun pada akhir buruannya kerja dan ijazah bukanlah jaminan efficiency melainkan suatu kemungkinan buat kesanggupan. Seperti ciloteh salah seorang dosen saya, “jika bisa sabar gelar doctor atau profesor pasti ditangan”. Mungkin kita sudah sama maklum bila di negara kita yang kaya-raya tapi melarat ini mencari pekerjaan seperti ayam dikasih makan dan itupun tak pandang bulu. Jika bapaknya hakim, anak biasa jadi hakim, jika mertua dosen menantunya pasti diterima jadi dosen. Perkara mampu atau tidak itu nomor sekian dan itu semua perkara kesempatan.
Untuk memperkuat pengalaman dibelakang hari, pengalaman atau keterampilan yang dimaksud bukanlah sebuah perkerjaan yang tersambil, tapi sebuah harapan bagaimana sebuah kampus biasa menghasilkan jebolan yang beridiologi suci, beriman baja, mandiri dan bermasyarakat. Kehadiran lembaga yang terstruktur seperti BEM jurusan, BEM fakultas, BEM Institut/Universitas dan Unit Kegitan Mahasiswa (UKM) yang beranekaragam Olahraga, KSR-PMI, Teater, Pers mahasiswa dan lain-lain sebagai dunia pembelajaran bagi mahasiswa yang haus kreatifitas yang memberi sumbangsi besar bagi kampus itu sendiri, namun bergabung dengan lembaga mahasiswa apapun berarti harus bersedia makan hati. Kadang jadi lampiasan sebahagian dosen, kadang pada waktu-waktu tertentu harus memilih antara kuliah dan UKM.
Ada juga sebahagian kawan yang berurusan dengan kuliah hingga semester haram (7 th). Kadang terpaksa DO dan sebagian bisa menyelesaikan studi dalam waktu yang lebih baik, tapi itu semua pilihan sebenarnya, sebab jika menginginkan sesuatu harus berani kehilangan sesuatu
Pengembangan kegiatan mahasiswa di kampus menjadi pembicaraan yang hangat pada tiap-tiap kampus tak ketinggalan pula IAIN Imam Bonjol Padang yang berkiblat ke ka’bah ini. Ibarat api dalam sekam, mungkin itu kalimat yang pantas buat mengenang nasib UKM di kampus yang malang ini. Sudah bertahun-tahun berbuat tapi tetap saja digusur kian-kemari. Entah apa yang terjadi di kampus ini, tiap kali ganti pimpinan, UKM selalu menjadi tumbal dan penempatan peran yang terkesan memanfaatkan yang akhirnya membeda-bedakan status mahasiswa, seperti UKM Menwa dan Satpam yang ditugaskan menstop mahasiswa yang berboncengan masuk kampus. Kenapa harus dilarang. Bukankah mahasiswa sudah dewasa dan paham benar tentang ini? meskipun berboncengan itu tidak Islami maka pihak keamanan kampus/satpam yang seharusnya punya gawe. Kelihatannya ada status/derajat plus terhadap UKM tersebut padahal sama-sama mahasiswa dan takutnya nanti akan bermuncul kelompok yang merasa lebih sempurna.
Kita juga harus belajar kepada musabab tuntutan pembubaran UKM Menwa di Universitas Bung Hatta oleh mahasiswa. Penguasaan masjid kampus oleh salah satu UKM yang merusak kenyamanan beribadah padahal UNAND sudah lebih dahulu memberi contoh dengan menetralkan masjid pertanda milik bersama serta misteri pemindahan UKM dari gedung di belakang Fakultas Dakwah (yang kini lokal kuliah Fakultas Dakwa dan Fakultas Ilmu Budaya-ADAB) pada masa pemerintahan Prof. Maidir Harun dan PR III ketika itu Dr, Asasriwarni,M,Ag ke gedung Student Center (SC) pada Tahun 2003 yang dijanjikan fasilitas VIP. Mungkin kronologisnya tak perlu diuraikan lagi serta pemindahan UKM ke “penjara mini” di gedung Serba Guna dan Auditorium yang dikotak-kotak bak kandang burung Merpati yang bila hujan datang harus gulung tikar dan mandi hujan sekaligus bikin kolam ikan. SC pada akhirnya selesai disulap jadi lokal kuliah pada awal semester genap April 2008. Fakaultas Tarbiyah menduduki SC secara diam-diam sementara kesepakatan yang dibuat di meja sidang putus ditengah jalan.
Pada jumpa Pers UKM dengan PR II dan PR III yang diadakan Suara Kampus pada April 2008 alhasil PR II, Dr.Bukhari tampa beban mengaku tidak tau sama sekali tentang perjanjian UKM dengan pimpinan IAIN. Gedung SC Milik Fakultas Tarbiyah dan UKM diharap bersabar karena bila dana ada akan dibangun SC yang permanent disebelah kantor dekanat Ushuluddin ujar Salmadanis. Dalam jumpa pers tersebut juga dibicarakan tentang perencanaan pemindahan UKM ke gedung bekas kantor rector/LDQ kecuali UKM Musik dan UKM Teater yang masih difikirkan tempat yang layak untuk keduanya. Keterbengkalaian UKM dan lembaga mahasiswa lainnya adalah dampak dari tidak terpimpin pimpinan kita. Andai saja kebijakan di kampus ini berimbang mungkin kampus ini tak akan penuh dengan teka-teki.
Barangkali komplik-komplik yang muncul di kampus ini serupa bingung yang tak berlabuh. Jasa almamater yang tidak dihargai, permasalahan birokrasi yang lamban serta tidak profesional, sistem belajar jauh dari kebutuhan, satu kali pertemuan (kuliah) tampil tiga pemakalah sekaligus, mahasiswa sibuk diluar karna tak betah dalam kelas, dosen sibuk politik sampai lupa tugas. Masjid tak punya WC, UKM tak punya WC malu kita pada kawan dari kampus lain yang sengaja bertamu, di fakultas terjadi antrian panjang di WC kayak mengantri minyak tanah kecuali WC dosen dan pimpinan. Penyerahan KHS harus menunggu semester depan sementara nilai yang keluar nyicil kayak angsuran bank dan pembangunan yang diluar logika adalah catatan panjang dan dosa warisan bagi penghuni kampus ini. Permasalahan apa upaya para pimpinan IAIN kedepan tak perlu pula kita mengguruinya akan tetapi bagaimanapun juga logika tanpa logistic sama dengan anarkis. Kiranya perkelahian sesama kerbau akan menimbulkan dampak yang tidak bagus bagi rumput dan ketidak berdayaan rumput adalah momen tepat bagi para kerbau untuk berkecamuk-amuk dalam memperebutkan kekuasaan. Kiranya kepada para rumput sesekali berteriaklah sebab berteriak itu tidak salah dan tak akan mengurangi nilai kerumputan yang ada.
Firdaus Diezo, S.Hi
Rabu, 04 Juni 2008
Pengentasan Kemiskinan Ala Elit-elit Politik
Oleh : Muslim
Judul dari tajuk tulisan di atas terinspirasi oleh penulis disebabkan karena setiapkali melihat berita dan tulisan yang ada di media massa (koran), dari dialog-dialog serta seminar-seminar yang diselenggarakan dan ditayangkan oleh media televisi baik dari tingkat lokal maupun tingkat nasional acapkali mengangkatkan tema atau wacana bagaimana pemerintah, khususnya elit-elit politik berusaha untuk memberantas tentang masalah kemiskinan yang sedang dan banyak terjadi dalam kehidupan masyarakat di mulai dari daerah pedesaan, bahkan sampai ke daerah perkotaan hingga saat ini.
Secara konstektual, ide serta gagasan yang telah dilontarkan para elit-elit politik tersebut sangatlah baik sekali demi untuk kemajuan, kesejahteraan, dan kemaslahatan masyarakat umumnya. Disamping itu, setidaknya demi untuk terwujudnya rasa keadilan, kenyamanan, keharmonisan, dan persamaan hak-hak asasi sebagai anak-anak bangsa. Akan tetapi, secara realita yang ada, bila kita amati secara seksama bagaimana keadaan masyarakat pada kondisi yang sebenarnya, toh sebahagian dari mereka masih ada yang merasakan kondisi kehidupan ini penuh dengan keperihatinan, keterbelakangan, kebodohan, dan dalam kondisi hidup yang morat marit.
Berapa banyak fenomena-fenomena yang telah terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat kita sekarang seperti; masyarakat kecil (wong cilik) yang hidupnya tinggal di sebuah gubuk kurang memadai dengan segala alat serta perlengkapan rumah tangga serba terbatas, ada yang tinggal di emperan-emperan jalan, ada yang hidup di bawah jembatan jalan tol, bahkan ada yang tinggal jauh di pelosok pedesaan terisolir yang mereka belum pernah sama sekali mengecapi kehidupan serba mewah, lux, dan mentereng seperti yang telah dirasakan oleh para elit-elit politik pilihan suara dari mereka sendiri. Begitu juga, sering terjadi fenomena pertengkaran di dalam sebuah rumah tangga, perceraian antara suami istri, anak-anak yang putus sekolah, anak-anak yang terjun ke dunia pergaulan bebas, tawuran antar sesama pelajar dan mahasiswa, pemakaian narkoba, dan kasus-kasus pencopetan, pencurian, gantung diri dan pembunuhan. Sehingga dari sekian banyak masalah dan fenomena yang berlaku di tengah-tengah kehidupan masyarakat semakin membuat mereka jadi frustasi dan stres dalam memikirkan kehidupan ini. Lalu dengan adanya seabrek macam persoalan di atas, timbul pertanyaan; tanggungjawab siapakah semua permasalahan ini? Apakah permasalahan ini cukup dijadikan kambinghitam terhadap masyarakat yang hanya bisa menerima dan pasrah terhadap segala usaha dan daya upaya yang telah mereka lakukan dalam menata dan menapak setahap demi setahap untuk menginginkan sebuah kehidupan yang layak baik untuk keluarga dan anak-anaknya? Atau apakah bisa masalah ini jadi tanggungjawab sosial yang besar bagi pemerintah dalam usaha bagaimana untuk mensejahterakan rakyat atau masyarakatnya, bukan malah untuk mensejahterakan diri, keluarga, dan beserta konco-konconya?
Sepanjang sejarah perjalanan sebuah bangsa, sudah tentu di dalam sistem atau mekanisme suatu bangsa tersebut sudah ada hukum atau undang-undang serta peratutan-peraturan yang mengatur bagaimana masyarakat tersebut dapat untuk lebih di prioritaskan dalam merasakan kesejahteraan, keadilan, keharmonisan, mendapat pengajaran, mendapat pekerjaan, dan mendapat penghidupan yang layak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejak masa belajar sekolah dasar (SD) dahulu kita sudah di ajarkan tentang pasal demi pasal dan ayat demi ayat yang ada dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 mulai dari pasal satu hinggalah pasal terakhir. Di dalam pasal tersebut ada beberapa pasal yang menerangkan tentang bagaimana masyarakat dapat mempergunakan hak-hak mereka sebagai warga negara (lihat dalam pasal undang-undang dasar negara tahun 1945, dalam pasal 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, dan 34).
Komitmen pemerintah dalam usaha melakukan kinerja sebagai elit-elit politik dalam usaha pengentasan kemiskinan nampaknya hanya sebatas retorika dan lips service semata. Nampak sekali kesenjangan sosial terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat kita yang mencolok dan sangat kentara saat ini. Nampak sekali jurang pemisah antara orang yang kaya dengan orang yang miskin terpampang nyata ditengah-tengah kehidupan kita. Orang yang kaya semakin kaya, sedangkan orang yang miskin semakin miskin.
Ironis sekali! Baru-baru ini dapat kita baca berita di media surat kabar yang menceritakan bahwa menjelang berakhirnya tahun 2006 ini seluruh anggota DPRD baik tingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi se-Indonesia akan mendapatkan income uang saku yang semakin banyak. Dimana sebentar lagi akan keluar Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 (PP 37/2006) yang telah ditetapkan pada tanggal 14 November 2006 yang menyatakan tentang kedudukan Protokoler dan keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD. Dalam PP tersebut di dalamnya memuat tentang tambahan penghasilan anggota dan pimpinan DPRD. Padahal, sebelum PP tersebut dikeluarkan, pimpinan dan anggota DPRD telah mendapatkan penghasilan setiap bulan dari delapan komponen gaji mereka. Seperti; uang representasi, uang paket, tunjangan jabatan, tunjangan panmus, tunjangan komisi, tunjangan panitia anggaran, tunjangan badan kehormatan, dan tunjangan alat kelengkapan lainnya. Aturan pendapatan penghasilan ini semua termuat dalam pasal 10 PP 24 Tahun 2004.
Dengan adanya tambahan komponen gaji ini, dipastikan penghasilan anggota DPRD akan naik berlipat ganda, uang representasi ketua DPRD provinsi akan setara dengan gaji pokok Gubernur dan ketua DPRD kabupaten/kota yang ditetapkan pemerintah. Untuk wakil ketua DPRD, besarnya uang representasi 80 persen dari uang representasi ketua DPRD. Untuk anggota, uang representasi ditetapkan 75 persen dari uang representasi ketua DPRD. Ini semua berlaku untuk DPRD Kabupaten /Kota maupun Provinsi. Merupakan angka yang sangat,sangat dan sangat pantastik sekali bagi mereka untuk dapat merasakan kehidupan yang mewah dan mentereng di bawah penderitaan, kepedihan, kemiskinan dan kesengsaraan rakyatnya. Nauzubillah min zalik!
Berapa banyak kita lihat selama ini para pejabat dan para elit-elit politik yang setelah memegang kekuasaan, lalu pada masa kepemimpinan dan setelah kepemimpinannya terkendala kasus penyelewengan kekuasaan dan seterusnya di ajukan ke Mahkamah sebagai tersangka kasus korupsi dengan menyalahkan gunakan uang milik negara miliaran hingga sampai triliunan. Dengan hanya memetingkan kesenangan sesaat, akhirnya mereka bersitungkin hidup mendekam dalam hotel prodeo (penjara) tanpa memikirkan karir politik masa depan, rumah tangga, dan anak-anak mereka.
Penutup
Wacana serta gaung untuk memberantas kemiskinan yang ada ditengah-tengah masyarakat dan telah di dengung-dengungkan oleh para pemimpin dan para elit-elit politik, sebenarnya bisa dan dapat saja terwujud serta terlaksana sekiranya mereka benar-benar mau dan ingin untuk melakukannya. Dengan mempergunakan kucuran serta dana bantuan pusat dan juga dari dana yang dikelola oleh pemimpin daerah atau instansi baik dari dalam sistem APBD maupun di luar sistem APBD, maka jargon pengentasan kemiskinan tersebut tentu dapat terlaksana.
Namun nampaknya ada something wrong dilakukan oleh pihak penguasa dalam pelaksanaan usaha pengentasan kemiskinan tersebut, dimana sebahagian dana proyek besar tersebut tidak sampai ke akar umbinya (masyarakat yang benar-benar membutuhkannya). Dalam kehidupan keseharian ditengah-tengah masyarakat dapat kita lihat bahwa orang yang miskin tetap saja miskin. Orang yang bekerja sebagai petani, buruh, tukang, guru, pedagang kecil, dan sopir, masih saja hidup dalam keadaan yang serba kekurangan dan kesusahan. Masyarakat yang manakah sebenarnya dilirik, diperhatikan, dan diprioritaskan oleh pihak pemerintah dalam usaha memberantas kemiskinan ini?
Seharusnya pihak elit-elit politik dan pemimpin mengetahui bahwa uang yang telah dikumpulkan oleh negara dan uang yang telah dikumpulkan oleh daerah semuanya itu merupakan uang rakyat (masyarakat) dan harus dibelanjakan dan dipergunakan sebesar-besarnya demi untuk keperluan mereka. Bukan malahan uang tersebut dipergunakan untuk segelintir dan sebahagian masyarakat saja. Uang tersebut bukanlah dipergunakan untuk kehidupan berfoya-foya, bersenang-senang, pergi pesiar keluar negeri, membeli apartemen, membangun rumah-rumah bertingkat dan membeli motor yang serba mewah. Uang tersebut bukan dihambur-hamburkan untuk kepentingan pemuasan nafsu belaka. Akan tetapi, uang-uang tersebut adalah milik masyarakat yang diperoleh dari hasil-hasil kandungan perut bumi yang ada di Indonesia. Siapa saja berhak untuk ikut bersama dalam merasakan dan mengecapi akan kesenangan dan kebahagian hidup ini.
Sekiranya para elit-elit politik hanya sibuk memikirkan urusan peribadi, keluarga, sahabat, dan konco-konconya. Maka agenda yang telah di dengung-dengungkan dengan jargon pengentasan kemiskinan di tengah-tengah kehidupan masyarakat hanyalah retorika semata. Apalah gunanya kekayaan dan kesenangan hidup yang sementara ini dikejar dan diraih dengan sekuat-kuat tenaga. Sementara dalam masa sekejap itu pula hasil yang diperoleh selama ini akan disita pula. Di dunia sudah merana hidup dalam penjara, apalagi nanti di akhirat hidup lebih sangat menderita.
Penulis : Kontributor Harian Pagi Padang Ekspres Untuk Wilayah Malaysia. Dan Penulis merupakan Mahasiswa Program Master (S2) Fakulti Pengajian Islam Jabatan Syari’ah Universiti Kebangsan Malaysia (UKM)
Minggu, 01 Juni 2008
Fundamentalisme Islam di Filipina
Tulisan ini mengambil pembahasan Islam di Filipina yang nasibnya tidak kunjung membaik dan dikategorikan sebagai agama yang dianut minoritas penduduk Mindanao, bukan sebagai agama yang dianut oleh minoritas penduduk Filipina. Bukankan Mindanao itu Filipina juga, Nyonya Arroyo? Mungkin, Gloria Macapagal Arroyo ngeri karena Mindanao disebut sebagai simpul terorisme Asia Tenggara.
Islam di Filipina saat ini dikenal melalui gerakan fundamentalisme yang mengambil jalur radikal, termasuk di dalamnya. Kenyataan ini meskipun sulit dibantah, namun perlu dipahami, alasan apa yang membuat gerakan Islam di Filipina itu mengambil jalur kekerasan. Apalagi fenomena terakhir, dengan dalih pembinaan pros baru kebangkitan Islam Asia Tenggara, Filipina yang fundamentalis sangat dekat dengan image dengan kawasan berbahaya; teroris!
Asia Tenggara merupakan kawasan terpenting dalam perkembangan Islam sejak abad ke-15 hingga ke-17. Robert W. Hefner berpendapat bahwa Asia Tenggara dalam perspektif Barat adalah Islam atau rumah bagi orang Muslim yang populasinya melebihi Arab Timur Tengah.(R.W. Hefner,2001)
Namun aksi kekerasan yang dituduhkan kepada kelompok fundamentalis beraliran radikal telah merusak citra Islam di kawasan ini. Misalnya Jama’ah Islamiyah dan Majelis Mujahidin di Malaysia, kelompok Majelis Mujahidin Indonesia di bawah Ustadz Abu Bakar Ba’asyir serta beberapa aksi terorisme di Indonesia dan di Filipina dengan kelompok Abu Sayyafnya. Beberapa kasus belakangan menunjukkan para aktor yang diduga terorisme bergerak dan membuat jaringan di tiga wilayah ini.
Chandra Muzaffar berpendapat, bahwa kesadaran dan kebangkitan Islam di Filipina diartikulasikan dalam gerakan yang radikal. Fenomena ini menarik untuk dibahas, terutama untuk mencari penjelasan atas sebab musabab radikalisme gerakan Islam di Filipina.Sepertinya ada kesinambungan gerakan fundamentalisme Islam kontemporer semisal Abu Sayyaf dengan sejarah Filipina sebagai sebuah negarabangsa.
Paling tidak ada dua masalah besar yang menjadi perhatian kelompok fundamentalis Islam; Pertama, mereka menolak sekularisme Barat yang memisahkan agama dari politik, gereja dari negara. Kedua, banyak masyarakat Islam yang menginginkan agar masyarakat mereka diperìntah dengan menggunakan Al-Qur-an dan syari'at Islam sebagai hukum negara. Gerakan-gerakan ini menjadikan jihad sebagai maskot utama gerakannya.
Akar Radikalisme
Secara geografis wilayah Filipina terbagi dua wilayah kepulauan besar, yaitu Filipina Utara dengan kepulauan Luzon dan gugusannya serta Filipina Selatan dengan kepulauan Mindanao dan gugusannya. Muslim Moro atau lebih dikenal dengan Bangsa Moro adalah komunitas Muslim yang mendiami kepulauan Mindanao-Sulu beserta gugusannya di Filipina bagian selatan.
Islam masuk ke wilayah Filipina Selatan, khususnya kepulauan Sulu dan Mindanao, pada tahun 1380. Seorang tabib dan ulama Arab bernama Karimul Makhdum (Syeikh Makhdum). Banyak pedagang dan da’i muslim yang mengikuti Syeikh Makhdum dan menghabiskan waktunya di sana, mengajarkan Islam kepada penduduk setempat.
Informasi lainnya, Raja Baguinda tercatat sebagai orang pertama yang menyebarkan ajaran Islam di kepulauan tersebut. Raja Baguinda adalah seorang pangeran dari Minangkabau (Taufik Abdullah,1988). Ia tiba di kepulauan Sulu sepuluh tahun setelah berhasil mendakwahkan Islam di kepulauan Zamboanga dan Basilan. Atas hasil kerja kerasnya juga akhirnya Kabungsuwan Manguindanao, raja terkenal dari Manguindanao, memeluk Islam. Dari sinilah awal peradaban Islam di wilayah ini mulai dirintis.
Sejak masuknya orang-orang Spanyol ke Filipina pada 16 Maret 1521, penduduk pribumi telah mencium adanya maksud lain dibalik "ekspedisi ilmiah" Ferdinand de Magellans. Maksud itu adalah kolonialisme dan mision-sacre (misi suci Kristenisasi) terhadap orang-orang Islam. Di samping itu, diduga pengalaman perang reconquesta masih tersangkut di benak tentara Spanyol. Spanyol dapat menaklukan wilayah utara dengan mudah dan tanpa perlawanan berarti, tidak demikian halnya dengan wilayah selatan yang dihuni oleh penduduk muslim.
Pada perang besar tahun 1578 penduduk pribumi wilayah Utara yang telah dikristenkan dilibatkan dalam ketentaraan kolonial Spanyol, kemudian disuruh berperang melawan orang-orang Islam di selatan. Sehingga terjadilah peperangan antar orang Filipina sendiri dengan mengatasnamakan "misi suci". Dari sinilah akar kebencian orang-orang Kristen Filipina terhadap Bangsa Moro yang Islam hingga sekarang. Cesar Majul, sejarawan Muslim Filipina menyebut peperangan ini dengan peperangan agama.
Spanyol kemudian menjual Filipina kepada Amerika Serikat seharga US$ 20 juta pada tahun 1898 melalui Traktat Paris. Amerika datang ke Mindanao dengan menampilkan diri mereka sebagai seorang sahabat baik dan dapat dipercaya. Traktat Bates (20 Agustus 1898) yang berisi kebebasan beragama, kebebasan mengungkapkan pendapat, kebebasan mendapatkan pendidikan bagi Bangsa Moro ditandatangani untuk mengambil hati orang Islam. Namun selama periode 1898-1902, AS menggunakan waktu tersebut untuk membebaskan tanah serta hutan di wilayah Moro untuk keperluan ekspansi para kapitalis. Bahkan periode 1903-1913 dihabiskan AS untuk memerangi berbagai kelompok perlawanan Bangsa Moro(Cesar Majul,1989). Catatan sejarah ini paling tidak dapat menjawab sebab awal bagi gerakan fundamentalisme radikal Filipina
Kemerdekaan yang didapatkan Filipina (1946) dari Amerika Serikat ternyata tidak memiliki arti khusus bagi Bangsa Moro. Hengkangnya penjajah pertama (Amerika Serikat) dari Filipina ternyata memunculkan penjajah lainnya (pemerintah Filipina Kristen). Bagi bangsa Moro, Filipina Utara yang Kristen tidak lebih hanya anak ideologis Spanyol.
Namun pada masa ini perjuangan Bangsa Moro memasuki babak baru dengan dibentuknya front perlawanan yang lebih terorganisir dan maju, seperti MIM, Anshar-el-Islam, MNLF, MILF, MNLF-Reformis, BMIF. Pada saat yang sama, itu juga menjadi masa terpecahnya kekuatan Bangsa Moro menjadi faksi-faksi yang melemahkan perjuangan mereka secara keseluruhan.
Perjuangan Bangsa Moro melaui organisasi itu mengarah pada dua tujuan, pertama, Moro National Liberation Front (MNLF) pimpinan Nurulhaj Misuari yang berideologikan nasionalis-sekuler. Kedua, Moro Islamic Liberation Front (MILF) pimpinan Salamat Hashim, seorang ulama pejuang, yang murni berideologikan Islam dan bercita-cita mendirikan negara Islam di Filipina Selatan. Namun dalam perjalanannya, MNLF pimpinan Nur Misuari mengalami perpecahan menjadi kelompok MNLF-Reformis pimpinan Dimas Pundato (1981) dan kelompok Abu Sayyaf pimpinan Abdurrazak Janjalani (1993). Tentu saja perpecahan ini memperlemah perjuangan Bangsa Moro secara keseluruhan dan memperkuat posisi pemerintah Filipina dalam menghadapi Bangsa Moro.
Memahami Radikalisme Moro
Uraian di atas memperlihatkan, bahwa radikalisme di Filipina menemukan konteksnya. Bangsa Moro dapat disebut sebagai mantan penguasa Filipina yang kalah dalam melawan kolonialisme plus kristenisasi yang memboncenginya.
Kepergian kolonialis Spanyol dan Amerika, justru meninggalkan boncengannya, yaitu kristen. Kristen yang dianut kebanyakan warga di Filipina Utara telah membantu warga utara itu memperoleh kekuasaan atas seluruh kepulauan Filipina. Radikalisme ini pada hakikatnya, sebuah artikulasi konflik supremasi antara Filipina Utara-Kristen dengan Filipina Selatan-Islam.
Dalam pemahaman yang lain, tentu saja akan ada perbedaan artikulasi radikalisme politik antara penguasa dengan warga. Radikalisme penguasa dalam konteks ini bisa dibahasakan dengan represif, sementara radikalisme warga dimaknai dengan subversif, pemberontak, bahkan teroris.
Barangkali yang tersisa dari gerakan bangsa Moro adalah pencitraan terhadap gerakan muslim radikal yang mengambil jalan kekerasan. Pencitraan ini selaras dengan penyebutan teroris terhadap para pejuang tersebut yang akhir-akhir ini semakin kuat disorot sebagai terorisme Asia Tenggara.
Aksi terorisme ini tidak lepas dari peran Abdurasul Sayaf, pejuang Muslim Filipina. Abdurrasul Sayyaf atau Abu Sayyaf diduga kuat sebagai penghubung antara Jama’ah Islamiyah dengan al Qaeda melalui organisasi Tandzim al Ittihad al Islami yang dipimpinnya. Tandzim ini merupakan tempat berkumpulnya para alumni Mujahidin Afghanistan. Gerakan ini menginginkan terbentuknya Negara Islam Asia Tenggara.
Akhirnya ini menjadi “PR” baru bagi umat Islam Filipina untuk mengahapus pencitraan jelek terhadap umat Islam sebagai bangsa yang buta huruf, jahat, huramentados (tukang bunuh) dan suka berperang. Gerakan Abu Sayyaf tidak lebih sebagai gerakan perlawanan dengan semangat klasik yaitu perjuangan bersenjata dan tanpa berupaya membangun gerakan alternatif. Wallâhu A’lam!
Padang, Maret 2008
Muhammad Nasir,
Ketua Majelis Sinergi Islam dan Tradisi Indonesia (Magistra Indonesia)
Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam PPs IAIN Imam Bonjol Padang
Islam di Filipina saat ini dikenal melalui gerakan fundamentalisme yang mengambil jalur radikal, termasuk di dalamnya. Kenyataan ini meskipun sulit dibantah, namun perlu dipahami, alasan apa yang membuat gerakan Islam di Filipina itu mengambil jalur kekerasan. Apalagi fenomena terakhir, dengan dalih pembinaan pros baru kebangkitan Islam Asia Tenggara, Filipina yang fundamentalis sangat dekat dengan image dengan kawasan berbahaya; teroris!
Asia Tenggara merupakan kawasan terpenting dalam perkembangan Islam sejak abad ke-15 hingga ke-17. Robert W. Hefner berpendapat bahwa Asia Tenggara dalam perspektif Barat adalah Islam atau rumah bagi orang Muslim yang populasinya melebihi Arab Timur Tengah.(R.W. Hefner,2001)
Namun aksi kekerasan yang dituduhkan kepada kelompok fundamentalis beraliran radikal telah merusak citra Islam di kawasan ini. Misalnya Jama’ah Islamiyah dan Majelis Mujahidin di Malaysia, kelompok Majelis Mujahidin Indonesia di bawah Ustadz Abu Bakar Ba’asyir serta beberapa aksi terorisme di Indonesia dan di Filipina dengan kelompok Abu Sayyafnya. Beberapa kasus belakangan menunjukkan para aktor yang diduga terorisme bergerak dan membuat jaringan di tiga wilayah ini.
Chandra Muzaffar berpendapat, bahwa kesadaran dan kebangkitan Islam di Filipina diartikulasikan dalam gerakan yang radikal. Fenomena ini menarik untuk dibahas, terutama untuk mencari penjelasan atas sebab musabab radikalisme gerakan Islam di Filipina.Sepertinya ada kesinambungan gerakan fundamentalisme Islam kontemporer semisal Abu Sayyaf dengan sejarah Filipina sebagai sebuah negarabangsa.
Paling tidak ada dua masalah besar yang menjadi perhatian kelompok fundamentalis Islam; Pertama, mereka menolak sekularisme Barat yang memisahkan agama dari politik, gereja dari negara. Kedua, banyak masyarakat Islam yang menginginkan agar masyarakat mereka diperìntah dengan menggunakan Al-Qur-an dan syari'at Islam sebagai hukum negara. Gerakan-gerakan ini menjadikan jihad sebagai maskot utama gerakannya.
Akar Radikalisme
Secara geografis wilayah Filipina terbagi dua wilayah kepulauan besar, yaitu Filipina Utara dengan kepulauan Luzon dan gugusannya serta Filipina Selatan dengan kepulauan Mindanao dan gugusannya. Muslim Moro atau lebih dikenal dengan Bangsa Moro adalah komunitas Muslim yang mendiami kepulauan Mindanao-Sulu beserta gugusannya di Filipina bagian selatan.
Islam masuk ke wilayah Filipina Selatan, khususnya kepulauan Sulu dan Mindanao, pada tahun 1380. Seorang tabib dan ulama Arab bernama Karimul Makhdum (Syeikh Makhdum). Banyak pedagang dan da’i muslim yang mengikuti Syeikh Makhdum dan menghabiskan waktunya di sana, mengajarkan Islam kepada penduduk setempat.
Informasi lainnya, Raja Baguinda tercatat sebagai orang pertama yang menyebarkan ajaran Islam di kepulauan tersebut. Raja Baguinda adalah seorang pangeran dari Minangkabau (Taufik Abdullah,1988). Ia tiba di kepulauan Sulu sepuluh tahun setelah berhasil mendakwahkan Islam di kepulauan Zamboanga dan Basilan. Atas hasil kerja kerasnya juga akhirnya Kabungsuwan Manguindanao, raja terkenal dari Manguindanao, memeluk Islam. Dari sinilah awal peradaban Islam di wilayah ini mulai dirintis.
Sejak masuknya orang-orang Spanyol ke Filipina pada 16 Maret 1521, penduduk pribumi telah mencium adanya maksud lain dibalik "ekspedisi ilmiah" Ferdinand de Magellans. Maksud itu adalah kolonialisme dan mision-sacre (misi suci Kristenisasi) terhadap orang-orang Islam. Di samping itu, diduga pengalaman perang reconquesta masih tersangkut di benak tentara Spanyol. Spanyol dapat menaklukan wilayah utara dengan mudah dan tanpa perlawanan berarti, tidak demikian halnya dengan wilayah selatan yang dihuni oleh penduduk muslim.
Pada perang besar tahun 1578 penduduk pribumi wilayah Utara yang telah dikristenkan dilibatkan dalam ketentaraan kolonial Spanyol, kemudian disuruh berperang melawan orang-orang Islam di selatan. Sehingga terjadilah peperangan antar orang Filipina sendiri dengan mengatasnamakan "misi suci". Dari sinilah akar kebencian orang-orang Kristen Filipina terhadap Bangsa Moro yang Islam hingga sekarang. Cesar Majul, sejarawan Muslim Filipina menyebut peperangan ini dengan peperangan agama.
Spanyol kemudian menjual Filipina kepada Amerika Serikat seharga US$ 20 juta pada tahun 1898 melalui Traktat Paris. Amerika datang ke Mindanao dengan menampilkan diri mereka sebagai seorang sahabat baik dan dapat dipercaya. Traktat Bates (20 Agustus 1898) yang berisi kebebasan beragama, kebebasan mengungkapkan pendapat, kebebasan mendapatkan pendidikan bagi Bangsa Moro ditandatangani untuk mengambil hati orang Islam. Namun selama periode 1898-1902, AS menggunakan waktu tersebut untuk membebaskan tanah serta hutan di wilayah Moro untuk keperluan ekspansi para kapitalis. Bahkan periode 1903-1913 dihabiskan AS untuk memerangi berbagai kelompok perlawanan Bangsa Moro(Cesar Majul,1989). Catatan sejarah ini paling tidak dapat menjawab sebab awal bagi gerakan fundamentalisme radikal Filipina
Kemerdekaan yang didapatkan Filipina (1946) dari Amerika Serikat ternyata tidak memiliki arti khusus bagi Bangsa Moro. Hengkangnya penjajah pertama (Amerika Serikat) dari Filipina ternyata memunculkan penjajah lainnya (pemerintah Filipina Kristen). Bagi bangsa Moro, Filipina Utara yang Kristen tidak lebih hanya anak ideologis Spanyol.
Namun pada masa ini perjuangan Bangsa Moro memasuki babak baru dengan dibentuknya front perlawanan yang lebih terorganisir dan maju, seperti MIM, Anshar-el-Islam, MNLF, MILF, MNLF-Reformis, BMIF. Pada saat yang sama, itu juga menjadi masa terpecahnya kekuatan Bangsa Moro menjadi faksi-faksi yang melemahkan perjuangan mereka secara keseluruhan.
Perjuangan Bangsa Moro melaui organisasi itu mengarah pada dua tujuan, pertama, Moro National Liberation Front (MNLF) pimpinan Nurulhaj Misuari yang berideologikan nasionalis-sekuler. Kedua, Moro Islamic Liberation Front (MILF) pimpinan Salamat Hashim, seorang ulama pejuang, yang murni berideologikan Islam dan bercita-cita mendirikan negara Islam di Filipina Selatan. Namun dalam perjalanannya, MNLF pimpinan Nur Misuari mengalami perpecahan menjadi kelompok MNLF-Reformis pimpinan Dimas Pundato (1981) dan kelompok Abu Sayyaf pimpinan Abdurrazak Janjalani (1993). Tentu saja perpecahan ini memperlemah perjuangan Bangsa Moro secara keseluruhan dan memperkuat posisi pemerintah Filipina dalam menghadapi Bangsa Moro.
Memahami Radikalisme Moro
Uraian di atas memperlihatkan, bahwa radikalisme di Filipina menemukan konteksnya. Bangsa Moro dapat disebut sebagai mantan penguasa Filipina yang kalah dalam melawan kolonialisme plus kristenisasi yang memboncenginya.
Kepergian kolonialis Spanyol dan Amerika, justru meninggalkan boncengannya, yaitu kristen. Kristen yang dianut kebanyakan warga di Filipina Utara telah membantu warga utara itu memperoleh kekuasaan atas seluruh kepulauan Filipina. Radikalisme ini pada hakikatnya, sebuah artikulasi konflik supremasi antara Filipina Utara-Kristen dengan Filipina Selatan-Islam.
Dalam pemahaman yang lain, tentu saja akan ada perbedaan artikulasi radikalisme politik antara penguasa dengan warga. Radikalisme penguasa dalam konteks ini bisa dibahasakan dengan represif, sementara radikalisme warga dimaknai dengan subversif, pemberontak, bahkan teroris.
Barangkali yang tersisa dari gerakan bangsa Moro adalah pencitraan terhadap gerakan muslim radikal yang mengambil jalan kekerasan. Pencitraan ini selaras dengan penyebutan teroris terhadap para pejuang tersebut yang akhir-akhir ini semakin kuat disorot sebagai terorisme Asia Tenggara.
Aksi terorisme ini tidak lepas dari peran Abdurasul Sayaf, pejuang Muslim Filipina. Abdurrasul Sayyaf atau Abu Sayyaf diduga kuat sebagai penghubung antara Jama’ah Islamiyah dengan al Qaeda melalui organisasi Tandzim al Ittihad al Islami yang dipimpinnya. Tandzim ini merupakan tempat berkumpulnya para alumni Mujahidin Afghanistan. Gerakan ini menginginkan terbentuknya Negara Islam Asia Tenggara.
Akhirnya ini menjadi “PR” baru bagi umat Islam Filipina untuk mengahapus pencitraan jelek terhadap umat Islam sebagai bangsa yang buta huruf, jahat, huramentados (tukang bunuh) dan suka berperang. Gerakan Abu Sayyaf tidak lebih sebagai gerakan perlawanan dengan semangat klasik yaitu perjuangan bersenjata dan tanpa berupaya membangun gerakan alternatif. Wallâhu A’lam!
Padang, Maret 2008
Muhammad Nasir,
Ketua Majelis Sinergi Islam dan Tradisi Indonesia (Magistra Indonesia)
Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam PPs IAIN Imam Bonjol Padang
Sistem Online, Beban Kerja Ringan 2008, IAIN IB Masih Gaptek
Perkembangan dunia teknologi dan informasi dewasa ini, telah banyak memberikan kemudahan bagi semua kalangan masyarakat. Tidak peduli siapa, di mana atau kapan pun berada. Mereka semua bisa menggunakannya. Teknologi yang berkembang pun sudah demikian maju dan canggih. Bahkan dunia informasi keberadaannya saat ini seperti layaknya kacang goreng, murah meriah dan tidak susah untuk didapatkan. Teknologi dan informasi tidak lagi menjadi barang mahal yang sulit untuk diperoleh.
Melihat perkembangan teknologi dan informasi di era gobalisasi ini, maka sudah sepantasnya lembaga pendidikan untuk membuka mata dan telinga serta memanfaatkannya secara maksimal. Mulai dari lembaga pendidikan tingkat dasar (SD,SLTP,SMLTA-red) sekarang juga telah menyediakan fasilitas berupa laboratorium tempat penelitian atau internet yang dapat diakses secara mudah tanpa dipungut biaya. Tentu saja yang menjadi perhatian di sini, sudahkah lembaga pendidikan setingkat perguruan tinggi memanfaatkan secara maksimal atau menjadi bagian dari perkembangan dunia teknologi dan informasi yang ada saat ini? Tidak hanya perguruan tinggi umum saja tapi juga perguruan tinggi agama selayaknya juga harus peka terhadap teknologi, jangan gaptek (gagap teknologi).
Lalu bagaimana halnya dengan yang terjadi di kampus Islami kita saat ini? Di sini sebenarnya kita tidak ingin membanding-bandingkan kampus IAIN Imam Bonjol Padang dengan kampus lainnya yang ada di kota Padang dalam hal tanggap teknologi dan informasi. Jika kita melihat hanya dari segi pemakaian teknologi yang tepat guna seperti handphone, tentunya sudah bukan barang baru lagi. Hampir setiap mahasiswa ataupun unsur-unsur yang ada di Kampus IAIN Imam Bonjol Padang seperti, dosen, karyawan, bahkan penjaga kantin pun menggunakan dan memiliki handphone untuk berkomunikasi. Namun bagaimana memanfaatkannya itu semua tergantung kepada mereka.
Lain halnya jika kita bertanya, apakah lembaga pendidikan yang telah berdiri lama ini telah maksimal dalam pemanfaatan teknologi yang berkaitan dengan informasi. Jawabannya sangat mudah, sama sekali belum. Seperti yang kita lihat dan sadari semua hal yang berkaitan dengan proses akademis masih berjalan manual. Semuanya masih dikerjakan secara sederhana. Dapat dicontohkan dalam proses daftar ulang mahasiswa tiap semesternya. Jika kita masih ingin terdaftar sebagai mahasiswa di kampus Islami ini, kita harus menyewa travel dan meninggalkan kampung hanya untuk sekedar membayar uang SPP pada semester berikutnya. Untuk mengetahui bagaimana hasil proses belajar mengajar selama 1 semester dalam jangka waktu yang cukup lama, 6 bulan. Berbeda halnya dengan kampus lainnya yang cuma memerlukan waktu 2-3 minggu saja. Padahal untuk hal-hal “mudah” semacam ini teknologi informasi sudah banyak tersedia.
Kenapa IAIN IB Padang sebagai perguruan tinggi agama tertua di Sumatera masih lamban dalam memanfaatkan itu semua? Satu yang bisa dibanggakan dalam hal ini karena kampus ini ternyata sudah punya Website, namun mirisnya Website ini ternyata sampai detik ini tidak pernah berubah sejak Tahun 2005. hal ini ditandai dengan kabar-kabar tentang IAIN IB yang tidak update. Semua berita yang dimuat tentang kampus ini sudah kadaluarsa .
Ade Faulina
Wakil Pemimpin Umum
Melihat perkembangan teknologi dan informasi di era gobalisasi ini, maka sudah sepantasnya lembaga pendidikan untuk membuka mata dan telinga serta memanfaatkannya secara maksimal. Mulai dari lembaga pendidikan tingkat dasar (SD,SLTP,SMLTA-red) sekarang juga telah menyediakan fasilitas berupa laboratorium tempat penelitian atau internet yang dapat diakses secara mudah tanpa dipungut biaya. Tentu saja yang menjadi perhatian di sini, sudahkah lembaga pendidikan setingkat perguruan tinggi memanfaatkan secara maksimal atau menjadi bagian dari perkembangan dunia teknologi dan informasi yang ada saat ini? Tidak hanya perguruan tinggi umum saja tapi juga perguruan tinggi agama selayaknya juga harus peka terhadap teknologi, jangan gaptek (gagap teknologi).
Lalu bagaimana halnya dengan yang terjadi di kampus Islami kita saat ini? Di sini sebenarnya kita tidak ingin membanding-bandingkan kampus IAIN Imam Bonjol Padang dengan kampus lainnya yang ada di kota Padang dalam hal tanggap teknologi dan informasi. Jika kita melihat hanya dari segi pemakaian teknologi yang tepat guna seperti handphone, tentunya sudah bukan barang baru lagi. Hampir setiap mahasiswa ataupun unsur-unsur yang ada di Kampus IAIN Imam Bonjol Padang seperti, dosen, karyawan, bahkan penjaga kantin pun menggunakan dan memiliki handphone untuk berkomunikasi. Namun bagaimana memanfaatkannya itu semua tergantung kepada mereka.
Lain halnya jika kita bertanya, apakah lembaga pendidikan yang telah berdiri lama ini telah maksimal dalam pemanfaatan teknologi yang berkaitan dengan informasi. Jawabannya sangat mudah, sama sekali belum. Seperti yang kita lihat dan sadari semua hal yang berkaitan dengan proses akademis masih berjalan manual. Semuanya masih dikerjakan secara sederhana. Dapat dicontohkan dalam proses daftar ulang mahasiswa tiap semesternya. Jika kita masih ingin terdaftar sebagai mahasiswa di kampus Islami ini, kita harus menyewa travel dan meninggalkan kampung hanya untuk sekedar membayar uang SPP pada semester berikutnya. Untuk mengetahui bagaimana hasil proses belajar mengajar selama 1 semester dalam jangka waktu yang cukup lama, 6 bulan. Berbeda halnya dengan kampus lainnya yang cuma memerlukan waktu 2-3 minggu saja. Padahal untuk hal-hal “mudah” semacam ini teknologi informasi sudah banyak tersedia.
Kenapa IAIN IB Padang sebagai perguruan tinggi agama tertua di Sumatera masih lamban dalam memanfaatkan itu semua? Satu yang bisa dibanggakan dalam hal ini karena kampus ini ternyata sudah punya Website, namun mirisnya Website ini ternyata sampai detik ini tidak pernah berubah sejak Tahun 2005. hal ini ditandai dengan kabar-kabar tentang IAIN IB yang tidak update. Semua berita yang dimuat tentang kampus ini sudah kadaluarsa .
Ade Faulina
Wakil Pemimpin Umum
Langganan:
Postingan (Atom)