Rabu, 04 Juni 2008

Pengentasan Kemiskinan Ala Elit-elit Politik

Oleh : Muslim

Judul dari tajuk tulisan di atas terinspirasi oleh penulis disebabkan karena setiapkali melihat berita dan tulisan yang ada di media massa (koran), dari dialog-dialog serta seminar-seminar yang diselenggarakan dan ditayangkan oleh media televisi baik dari tingkat lokal maupun tingkat nasional acapkali mengangkatkan tema atau wacana bagaimana pemerintah, khususnya elit-elit politik berusaha untuk memberantas tentang masalah kemiskinan yang sedang dan banyak terjadi dalam kehidupan masyarakat di mulai dari daerah pedesaan, bahkan sampai ke daerah perkotaan hingga saat ini.

Secara konstektual, ide serta gagasan yang telah dilontarkan para elit-elit politik tersebut sangatlah baik sekali demi untuk kemajuan, kesejahteraan, dan kemaslahatan masyarakat umumnya. Disamping itu, setidaknya demi untuk terwujudnya rasa keadilan, kenyamanan, keharmonisan, dan persamaan hak-hak asasi sebagai anak-anak bangsa. Akan tetapi, secara realita yang ada, bila kita amati secara seksama bagaimana keadaan masyarakat pada kondisi yang sebenarnya, toh sebahagian dari mereka masih ada yang merasakan kondisi kehidupan ini penuh dengan keperihatinan, keterbelakangan, kebodohan, dan dalam kondisi hidup yang morat marit.

Berapa banyak fenomena-fenomena yang telah terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat kita sekarang seperti; masyarakat kecil (wong cilik) yang hidupnya tinggal di sebuah gubuk kurang memadai dengan segala alat serta perlengkapan rumah tangga serba terbatas, ada yang tinggal di emperan-emperan jalan, ada yang hidup di bawah jembatan jalan tol, bahkan ada yang tinggal jauh di pelosok pedesaan terisolir yang mereka belum pernah sama sekali mengecapi kehidupan serba mewah, lux, dan mentereng seperti yang telah dirasakan oleh para elit-elit politik pilihan suara dari mereka sendiri. Begitu juga, sering terjadi fenomena pertengkaran di dalam sebuah rumah tangga, perceraian antara suami istri, anak-anak yang putus sekolah, anak-anak yang terjun ke dunia pergaulan bebas, tawuran antar sesama pelajar dan mahasiswa, pemakaian narkoba, dan kasus-kasus pencopetan, pencurian, gantung diri dan pembunuhan. Sehingga dari sekian banyak masalah dan fenomena yang berlaku di tengah-tengah kehidupan masyarakat semakin membuat mereka jadi frustasi dan stres dalam memikirkan kehidupan ini. Lalu dengan adanya seabrek macam persoalan di atas, timbul pertanyaan; tanggungjawab siapakah semua permasalahan ini? Apakah permasalahan ini cukup dijadikan kambinghitam terhadap masyarakat yang hanya bisa menerima dan pasrah terhadap segala usaha dan daya upaya yang telah mereka lakukan dalam menata dan menapak setahap demi setahap untuk menginginkan sebuah kehidupan yang layak baik untuk keluarga dan anak-anaknya? Atau apakah bisa masalah ini jadi tanggungjawab sosial yang besar bagi pemerintah dalam usaha bagaimana untuk mensejahterakan rakyat atau masyarakatnya, bukan malah untuk mensejahterakan diri, keluarga, dan beserta konco-konconya?

Sepanjang sejarah perjalanan sebuah bangsa, sudah tentu di dalam sistem atau mekanisme suatu bangsa tersebut sudah ada hukum atau undang-undang serta peratutan-peraturan yang mengatur bagaimana masyarakat tersebut dapat untuk lebih di prioritaskan dalam merasakan kesejahteraan, keadilan, keharmonisan, mendapat pengajaran, mendapat pekerjaan, dan mendapat penghidupan yang layak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejak masa belajar sekolah dasar (SD) dahulu kita sudah di ajarkan tentang pasal demi pasal dan ayat demi ayat yang ada dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 mulai dari pasal satu hinggalah pasal terakhir. Di dalam pasal tersebut ada beberapa pasal yang menerangkan tentang bagaimana masyarakat dapat mempergunakan hak-hak mereka sebagai warga negara (lihat dalam pasal undang-undang dasar negara tahun 1945, dalam pasal 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, dan 34).
Komitmen pemerintah dalam usaha melakukan kinerja sebagai elit-elit politik dalam usaha pengentasan kemiskinan nampaknya hanya sebatas retorika dan lips service semata. Nampak sekali kesenjangan sosial terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat kita yang mencolok dan sangat kentara saat ini. Nampak sekali jurang pemisah antara orang yang kaya dengan orang yang miskin terpampang nyata ditengah-tengah kehidupan kita. Orang yang kaya semakin kaya, sedangkan orang yang miskin semakin miskin.

Ironis sekali! Baru-baru ini dapat kita baca berita di media surat kabar yang menceritakan bahwa menjelang berakhirnya tahun 2006 ini seluruh anggota DPRD baik tingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi se-Indonesia akan mendapatkan income uang saku yang semakin banyak. Dimana sebentar lagi akan keluar Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 (PP 37/2006) yang telah ditetapkan pada tanggal 14 November 2006 yang menyatakan tentang kedudukan Protokoler dan keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD. Dalam PP tersebut di dalamnya memuat tentang tambahan penghasilan anggota dan pimpinan DPRD. Padahal, sebelum PP tersebut dikeluarkan, pimpinan dan anggota DPRD telah mendapatkan penghasilan setiap bulan dari delapan komponen gaji mereka. Seperti; uang representasi, uang paket, tunjangan jabatan, tunjangan panmus, tunjangan komisi, tunjangan panitia anggaran, tunjangan badan kehormatan, dan tunjangan alat kelengkapan lainnya. Aturan pendapatan penghasilan ini semua termuat dalam pasal 10 PP 24 Tahun 2004.

Dengan adanya tambahan komponen gaji ini, dipastikan penghasilan anggota DPRD akan naik berlipat ganda, uang representasi ketua DPRD provinsi akan setara dengan gaji pokok Gubernur dan ketua DPRD kabupaten/kota yang ditetapkan pemerintah. Untuk wakil ketua DPRD, besarnya uang representasi 80 persen dari uang representasi ketua DPRD. Untuk anggota, uang representasi ditetapkan 75 persen dari uang representasi ketua DPRD. Ini semua berlaku untuk DPRD Kabupaten /Kota maupun Provinsi. Merupakan angka yang sangat,sangat dan sangat pantastik sekali bagi mereka untuk dapat merasakan kehidupan yang mewah dan mentereng di bawah penderitaan, kepedihan, kemiskinan dan kesengsaraan rakyatnya. Nauzubillah min zalik!

Berapa banyak kita lihat selama ini para pejabat dan para elit-elit politik yang setelah memegang kekuasaan, lalu pada masa kepemimpinan dan setelah kepemimpinannya terkendala kasus penyelewengan kekuasaan dan seterusnya di ajukan ke Mahkamah sebagai tersangka kasus korupsi dengan menyalahkan gunakan uang milik negara miliaran hingga sampai triliunan. Dengan hanya memetingkan kesenangan sesaat, akhirnya mereka bersitungkin hidup mendekam dalam hotel prodeo (penjara) tanpa memikirkan karir politik masa depan, rumah tangga, dan anak-anak mereka.

Penutup

Wacana serta gaung untuk memberantas kemiskinan yang ada ditengah-tengah masyarakat dan telah di dengung-dengungkan oleh para pemimpin dan para elit-elit politik, sebenarnya bisa dan dapat saja terwujud serta terlaksana sekiranya mereka benar-benar mau dan ingin untuk melakukannya. Dengan mempergunakan kucuran serta dana bantuan pusat dan juga dari dana yang dikelola oleh pemimpin daerah atau instansi baik dari dalam sistem APBD maupun di luar sistem APBD, maka jargon pengentasan kemiskinan tersebut tentu dapat terlaksana.
Namun nampaknya ada something wrong dilakukan oleh pihak penguasa dalam pelaksanaan usaha pengentasan kemiskinan tersebut, dimana sebahagian dana proyek besar tersebut tidak sampai ke akar umbinya (masyarakat yang benar-benar membutuhkannya). Dalam kehidupan keseharian ditengah-tengah masyarakat dapat kita lihat bahwa orang yang miskin tetap saja miskin. Orang yang bekerja sebagai petani, buruh, tukang, guru, pedagang kecil, dan sopir, masih saja hidup dalam keadaan yang serba kekurangan dan kesusahan. Masyarakat yang manakah sebenarnya dilirik, diperhatikan, dan diprioritaskan oleh pihak pemerintah dalam usaha memberantas kemiskinan ini?
Seharusnya pihak elit-elit politik dan pemimpin mengetahui bahwa uang yang telah dikumpulkan oleh negara dan uang yang telah dikumpulkan oleh daerah semuanya itu merupakan uang rakyat (masyarakat) dan harus dibelanjakan dan dipergunakan sebesar-besarnya demi untuk keperluan mereka. Bukan malahan uang tersebut dipergunakan untuk segelintir dan sebahagian masyarakat saja. Uang tersebut bukanlah dipergunakan untuk kehidupan berfoya-foya, bersenang-senang, pergi pesiar keluar negeri, membeli apartemen, membangun rumah-rumah bertingkat dan membeli motor yang serba mewah. Uang tersebut bukan dihambur-hamburkan untuk kepentingan pemuasan nafsu belaka. Akan tetapi, uang-uang tersebut adalah milik masyarakat yang diperoleh dari hasil-hasil kandungan perut bumi yang ada di Indonesia. Siapa saja berhak untuk ikut bersama dalam merasakan dan mengecapi akan kesenangan dan kebahagian hidup ini.
Sekiranya para elit-elit politik hanya sibuk memikirkan urusan peribadi, keluarga, sahabat, dan konco-konconya. Maka agenda yang telah di dengung-dengungkan dengan jargon pengentasan kemiskinan di tengah-tengah kehidupan masyarakat hanyalah retorika semata. Apalah gunanya kekayaan dan kesenangan hidup yang sementara ini dikejar dan diraih dengan sekuat-kuat tenaga. Sementara dalam masa sekejap itu pula hasil yang diperoleh selama ini akan disita pula. Di dunia sudah merana hidup dalam penjara, apalagi nanti di akhirat hidup lebih sangat menderita.


Penulis : Kontributor Harian Pagi Padang Ekspres Untuk Wilayah Malaysia. Dan Penulis merupakan Mahasiswa Program Master (S2) Fakulti Pengajian Islam Jabatan Syari’ah Universiti Kebangsan Malaysia (UKM)

Tidak ada komentar: