Tulisan ini mengambil pembahasan Islam di Filipina yang nasibnya tidak kunjung membaik dan dikategorikan sebagai agama yang dianut minoritas penduduk Mindanao, bukan sebagai agama yang dianut oleh minoritas penduduk Filipina. Bukankan Mindanao itu Filipina juga, Nyonya Arroyo? Mungkin, Gloria Macapagal Arroyo ngeri karena Mindanao disebut sebagai simpul terorisme Asia Tenggara.
Islam di Filipina saat ini dikenal melalui gerakan fundamentalisme yang mengambil jalur radikal, termasuk di dalamnya. Kenyataan ini meskipun sulit dibantah, namun perlu dipahami, alasan apa yang membuat gerakan Islam di Filipina itu mengambil jalur kekerasan. Apalagi fenomena terakhir, dengan dalih pembinaan pros baru kebangkitan Islam Asia Tenggara, Filipina yang fundamentalis sangat dekat dengan image dengan kawasan berbahaya; teroris!
Asia Tenggara merupakan kawasan terpenting dalam perkembangan Islam sejak abad ke-15 hingga ke-17. Robert W. Hefner berpendapat bahwa Asia Tenggara dalam perspektif Barat adalah Islam atau rumah bagi orang Muslim yang populasinya melebihi Arab Timur Tengah.(R.W. Hefner,2001)
Namun aksi kekerasan yang dituduhkan kepada kelompok fundamentalis beraliran radikal telah merusak citra Islam di kawasan ini. Misalnya Jama’ah Islamiyah dan Majelis Mujahidin di Malaysia, kelompok Majelis Mujahidin Indonesia di bawah Ustadz Abu Bakar Ba’asyir serta beberapa aksi terorisme di Indonesia dan di Filipina dengan kelompok Abu Sayyafnya. Beberapa kasus belakangan menunjukkan para aktor yang diduga terorisme bergerak dan membuat jaringan di tiga wilayah ini.
Chandra Muzaffar berpendapat, bahwa kesadaran dan kebangkitan Islam di Filipina diartikulasikan dalam gerakan yang radikal. Fenomena ini menarik untuk dibahas, terutama untuk mencari penjelasan atas sebab musabab radikalisme gerakan Islam di Filipina.Sepertinya ada kesinambungan gerakan fundamentalisme Islam kontemporer semisal Abu Sayyaf dengan sejarah Filipina sebagai sebuah negarabangsa.
Paling tidak ada dua masalah besar yang menjadi perhatian kelompok fundamentalis Islam; Pertama, mereka menolak sekularisme Barat yang memisahkan agama dari politik, gereja dari negara. Kedua, banyak masyarakat Islam yang menginginkan agar masyarakat mereka diperìntah dengan menggunakan Al-Qur-an dan syari'at Islam sebagai hukum negara. Gerakan-gerakan ini menjadikan jihad sebagai maskot utama gerakannya.
Akar Radikalisme
Secara geografis wilayah Filipina terbagi dua wilayah kepulauan besar, yaitu Filipina Utara dengan kepulauan Luzon dan gugusannya serta Filipina Selatan dengan kepulauan Mindanao dan gugusannya. Muslim Moro atau lebih dikenal dengan Bangsa Moro adalah komunitas Muslim yang mendiami kepulauan Mindanao-Sulu beserta gugusannya di Filipina bagian selatan.
Islam masuk ke wilayah Filipina Selatan, khususnya kepulauan Sulu dan Mindanao, pada tahun 1380. Seorang tabib dan ulama Arab bernama Karimul Makhdum (Syeikh Makhdum). Banyak pedagang dan da’i muslim yang mengikuti Syeikh Makhdum dan menghabiskan waktunya di sana, mengajarkan Islam kepada penduduk setempat.
Informasi lainnya, Raja Baguinda tercatat sebagai orang pertama yang menyebarkan ajaran Islam di kepulauan tersebut. Raja Baguinda adalah seorang pangeran dari Minangkabau (Taufik Abdullah,1988). Ia tiba di kepulauan Sulu sepuluh tahun setelah berhasil mendakwahkan Islam di kepulauan Zamboanga dan Basilan. Atas hasil kerja kerasnya juga akhirnya Kabungsuwan Manguindanao, raja terkenal dari Manguindanao, memeluk Islam. Dari sinilah awal peradaban Islam di wilayah ini mulai dirintis.
Sejak masuknya orang-orang Spanyol ke Filipina pada 16 Maret 1521, penduduk pribumi telah mencium adanya maksud lain dibalik "ekspedisi ilmiah" Ferdinand de Magellans. Maksud itu adalah kolonialisme dan mision-sacre (misi suci Kristenisasi) terhadap orang-orang Islam. Di samping itu, diduga pengalaman perang reconquesta masih tersangkut di benak tentara Spanyol. Spanyol dapat menaklukan wilayah utara dengan mudah dan tanpa perlawanan berarti, tidak demikian halnya dengan wilayah selatan yang dihuni oleh penduduk muslim.
Pada perang besar tahun 1578 penduduk pribumi wilayah Utara yang telah dikristenkan dilibatkan dalam ketentaraan kolonial Spanyol, kemudian disuruh berperang melawan orang-orang Islam di selatan. Sehingga terjadilah peperangan antar orang Filipina sendiri dengan mengatasnamakan "misi suci". Dari sinilah akar kebencian orang-orang Kristen Filipina terhadap Bangsa Moro yang Islam hingga sekarang. Cesar Majul, sejarawan Muslim Filipina menyebut peperangan ini dengan peperangan agama.
Spanyol kemudian menjual Filipina kepada Amerika Serikat seharga US$ 20 juta pada tahun 1898 melalui Traktat Paris. Amerika datang ke Mindanao dengan menampilkan diri mereka sebagai seorang sahabat baik dan dapat dipercaya. Traktat Bates (20 Agustus 1898) yang berisi kebebasan beragama, kebebasan mengungkapkan pendapat, kebebasan mendapatkan pendidikan bagi Bangsa Moro ditandatangani untuk mengambil hati orang Islam. Namun selama periode 1898-1902, AS menggunakan waktu tersebut untuk membebaskan tanah serta hutan di wilayah Moro untuk keperluan ekspansi para kapitalis. Bahkan periode 1903-1913 dihabiskan AS untuk memerangi berbagai kelompok perlawanan Bangsa Moro(Cesar Majul,1989). Catatan sejarah ini paling tidak dapat menjawab sebab awal bagi gerakan fundamentalisme radikal Filipina
Kemerdekaan yang didapatkan Filipina (1946) dari Amerika Serikat ternyata tidak memiliki arti khusus bagi Bangsa Moro. Hengkangnya penjajah pertama (Amerika Serikat) dari Filipina ternyata memunculkan penjajah lainnya (pemerintah Filipina Kristen). Bagi bangsa Moro, Filipina Utara yang Kristen tidak lebih hanya anak ideologis Spanyol.
Namun pada masa ini perjuangan Bangsa Moro memasuki babak baru dengan dibentuknya front perlawanan yang lebih terorganisir dan maju, seperti MIM, Anshar-el-Islam, MNLF, MILF, MNLF-Reformis, BMIF. Pada saat yang sama, itu juga menjadi masa terpecahnya kekuatan Bangsa Moro menjadi faksi-faksi yang melemahkan perjuangan mereka secara keseluruhan.
Perjuangan Bangsa Moro melaui organisasi itu mengarah pada dua tujuan, pertama, Moro National Liberation Front (MNLF) pimpinan Nurulhaj Misuari yang berideologikan nasionalis-sekuler. Kedua, Moro Islamic Liberation Front (MILF) pimpinan Salamat Hashim, seorang ulama pejuang, yang murni berideologikan Islam dan bercita-cita mendirikan negara Islam di Filipina Selatan. Namun dalam perjalanannya, MNLF pimpinan Nur Misuari mengalami perpecahan menjadi kelompok MNLF-Reformis pimpinan Dimas Pundato (1981) dan kelompok Abu Sayyaf pimpinan Abdurrazak Janjalani (1993). Tentu saja perpecahan ini memperlemah perjuangan Bangsa Moro secara keseluruhan dan memperkuat posisi pemerintah Filipina dalam menghadapi Bangsa Moro.
Memahami Radikalisme Moro
Uraian di atas memperlihatkan, bahwa radikalisme di Filipina menemukan konteksnya. Bangsa Moro dapat disebut sebagai mantan penguasa Filipina yang kalah dalam melawan kolonialisme plus kristenisasi yang memboncenginya.
Kepergian kolonialis Spanyol dan Amerika, justru meninggalkan boncengannya, yaitu kristen. Kristen yang dianut kebanyakan warga di Filipina Utara telah membantu warga utara itu memperoleh kekuasaan atas seluruh kepulauan Filipina. Radikalisme ini pada hakikatnya, sebuah artikulasi konflik supremasi antara Filipina Utara-Kristen dengan Filipina Selatan-Islam.
Dalam pemahaman yang lain, tentu saja akan ada perbedaan artikulasi radikalisme politik antara penguasa dengan warga. Radikalisme penguasa dalam konteks ini bisa dibahasakan dengan represif, sementara radikalisme warga dimaknai dengan subversif, pemberontak, bahkan teroris.
Barangkali yang tersisa dari gerakan bangsa Moro adalah pencitraan terhadap gerakan muslim radikal yang mengambil jalan kekerasan. Pencitraan ini selaras dengan penyebutan teroris terhadap para pejuang tersebut yang akhir-akhir ini semakin kuat disorot sebagai terorisme Asia Tenggara.
Aksi terorisme ini tidak lepas dari peran Abdurasul Sayaf, pejuang Muslim Filipina. Abdurrasul Sayyaf atau Abu Sayyaf diduga kuat sebagai penghubung antara Jama’ah Islamiyah dengan al Qaeda melalui organisasi Tandzim al Ittihad al Islami yang dipimpinnya. Tandzim ini merupakan tempat berkumpulnya para alumni Mujahidin Afghanistan. Gerakan ini menginginkan terbentuknya Negara Islam Asia Tenggara.
Akhirnya ini menjadi “PR” baru bagi umat Islam Filipina untuk mengahapus pencitraan jelek terhadap umat Islam sebagai bangsa yang buta huruf, jahat, huramentados (tukang bunuh) dan suka berperang. Gerakan Abu Sayyaf tidak lebih sebagai gerakan perlawanan dengan semangat klasik yaitu perjuangan bersenjata dan tanpa berupaya membangun gerakan alternatif. Wallâhu A’lam!
Padang, Maret 2008
Muhammad Nasir,
Ketua Majelis Sinergi Islam dan Tradisi Indonesia (Magistra Indonesia)
Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam PPs IAIN Imam Bonjol Padang
Islam di Filipina saat ini dikenal melalui gerakan fundamentalisme yang mengambil jalur radikal, termasuk di dalamnya. Kenyataan ini meskipun sulit dibantah, namun perlu dipahami, alasan apa yang membuat gerakan Islam di Filipina itu mengambil jalur kekerasan. Apalagi fenomena terakhir, dengan dalih pembinaan pros baru kebangkitan Islam Asia Tenggara, Filipina yang fundamentalis sangat dekat dengan image dengan kawasan berbahaya; teroris!
Asia Tenggara merupakan kawasan terpenting dalam perkembangan Islam sejak abad ke-15 hingga ke-17. Robert W. Hefner berpendapat bahwa Asia Tenggara dalam perspektif Barat adalah Islam atau rumah bagi orang Muslim yang populasinya melebihi Arab Timur Tengah.(R.W. Hefner,2001)
Namun aksi kekerasan yang dituduhkan kepada kelompok fundamentalis beraliran radikal telah merusak citra Islam di kawasan ini. Misalnya Jama’ah Islamiyah dan Majelis Mujahidin di Malaysia, kelompok Majelis Mujahidin Indonesia di bawah Ustadz Abu Bakar Ba’asyir serta beberapa aksi terorisme di Indonesia dan di Filipina dengan kelompok Abu Sayyafnya. Beberapa kasus belakangan menunjukkan para aktor yang diduga terorisme bergerak dan membuat jaringan di tiga wilayah ini.
Chandra Muzaffar berpendapat, bahwa kesadaran dan kebangkitan Islam di Filipina diartikulasikan dalam gerakan yang radikal. Fenomena ini menarik untuk dibahas, terutama untuk mencari penjelasan atas sebab musabab radikalisme gerakan Islam di Filipina.Sepertinya ada kesinambungan gerakan fundamentalisme Islam kontemporer semisal Abu Sayyaf dengan sejarah Filipina sebagai sebuah negarabangsa.
Paling tidak ada dua masalah besar yang menjadi perhatian kelompok fundamentalis Islam; Pertama, mereka menolak sekularisme Barat yang memisahkan agama dari politik, gereja dari negara. Kedua, banyak masyarakat Islam yang menginginkan agar masyarakat mereka diperìntah dengan menggunakan Al-Qur-an dan syari'at Islam sebagai hukum negara. Gerakan-gerakan ini menjadikan jihad sebagai maskot utama gerakannya.
Akar Radikalisme
Secara geografis wilayah Filipina terbagi dua wilayah kepulauan besar, yaitu Filipina Utara dengan kepulauan Luzon dan gugusannya serta Filipina Selatan dengan kepulauan Mindanao dan gugusannya. Muslim Moro atau lebih dikenal dengan Bangsa Moro adalah komunitas Muslim yang mendiami kepulauan Mindanao-Sulu beserta gugusannya di Filipina bagian selatan.
Islam masuk ke wilayah Filipina Selatan, khususnya kepulauan Sulu dan Mindanao, pada tahun 1380. Seorang tabib dan ulama Arab bernama Karimul Makhdum (Syeikh Makhdum). Banyak pedagang dan da’i muslim yang mengikuti Syeikh Makhdum dan menghabiskan waktunya di sana, mengajarkan Islam kepada penduduk setempat.
Informasi lainnya, Raja Baguinda tercatat sebagai orang pertama yang menyebarkan ajaran Islam di kepulauan tersebut. Raja Baguinda adalah seorang pangeran dari Minangkabau (Taufik Abdullah,1988). Ia tiba di kepulauan Sulu sepuluh tahun setelah berhasil mendakwahkan Islam di kepulauan Zamboanga dan Basilan. Atas hasil kerja kerasnya juga akhirnya Kabungsuwan Manguindanao, raja terkenal dari Manguindanao, memeluk Islam. Dari sinilah awal peradaban Islam di wilayah ini mulai dirintis.
Sejak masuknya orang-orang Spanyol ke Filipina pada 16 Maret 1521, penduduk pribumi telah mencium adanya maksud lain dibalik "ekspedisi ilmiah" Ferdinand de Magellans. Maksud itu adalah kolonialisme dan mision-sacre (misi suci Kristenisasi) terhadap orang-orang Islam. Di samping itu, diduga pengalaman perang reconquesta masih tersangkut di benak tentara Spanyol. Spanyol dapat menaklukan wilayah utara dengan mudah dan tanpa perlawanan berarti, tidak demikian halnya dengan wilayah selatan yang dihuni oleh penduduk muslim.
Pada perang besar tahun 1578 penduduk pribumi wilayah Utara yang telah dikristenkan dilibatkan dalam ketentaraan kolonial Spanyol, kemudian disuruh berperang melawan orang-orang Islam di selatan. Sehingga terjadilah peperangan antar orang Filipina sendiri dengan mengatasnamakan "misi suci". Dari sinilah akar kebencian orang-orang Kristen Filipina terhadap Bangsa Moro yang Islam hingga sekarang. Cesar Majul, sejarawan Muslim Filipina menyebut peperangan ini dengan peperangan agama.
Spanyol kemudian menjual Filipina kepada Amerika Serikat seharga US$ 20 juta pada tahun 1898 melalui Traktat Paris. Amerika datang ke Mindanao dengan menampilkan diri mereka sebagai seorang sahabat baik dan dapat dipercaya. Traktat Bates (20 Agustus 1898) yang berisi kebebasan beragama, kebebasan mengungkapkan pendapat, kebebasan mendapatkan pendidikan bagi Bangsa Moro ditandatangani untuk mengambil hati orang Islam. Namun selama periode 1898-1902, AS menggunakan waktu tersebut untuk membebaskan tanah serta hutan di wilayah Moro untuk keperluan ekspansi para kapitalis. Bahkan periode 1903-1913 dihabiskan AS untuk memerangi berbagai kelompok perlawanan Bangsa Moro(Cesar Majul,1989). Catatan sejarah ini paling tidak dapat menjawab sebab awal bagi gerakan fundamentalisme radikal Filipina
Kemerdekaan yang didapatkan Filipina (1946) dari Amerika Serikat ternyata tidak memiliki arti khusus bagi Bangsa Moro. Hengkangnya penjajah pertama (Amerika Serikat) dari Filipina ternyata memunculkan penjajah lainnya (pemerintah Filipina Kristen). Bagi bangsa Moro, Filipina Utara yang Kristen tidak lebih hanya anak ideologis Spanyol.
Namun pada masa ini perjuangan Bangsa Moro memasuki babak baru dengan dibentuknya front perlawanan yang lebih terorganisir dan maju, seperti MIM, Anshar-el-Islam, MNLF, MILF, MNLF-Reformis, BMIF. Pada saat yang sama, itu juga menjadi masa terpecahnya kekuatan Bangsa Moro menjadi faksi-faksi yang melemahkan perjuangan mereka secara keseluruhan.
Perjuangan Bangsa Moro melaui organisasi itu mengarah pada dua tujuan, pertama, Moro National Liberation Front (MNLF) pimpinan Nurulhaj Misuari yang berideologikan nasionalis-sekuler. Kedua, Moro Islamic Liberation Front (MILF) pimpinan Salamat Hashim, seorang ulama pejuang, yang murni berideologikan Islam dan bercita-cita mendirikan negara Islam di Filipina Selatan. Namun dalam perjalanannya, MNLF pimpinan Nur Misuari mengalami perpecahan menjadi kelompok MNLF-Reformis pimpinan Dimas Pundato (1981) dan kelompok Abu Sayyaf pimpinan Abdurrazak Janjalani (1993). Tentu saja perpecahan ini memperlemah perjuangan Bangsa Moro secara keseluruhan dan memperkuat posisi pemerintah Filipina dalam menghadapi Bangsa Moro.
Memahami Radikalisme Moro
Uraian di atas memperlihatkan, bahwa radikalisme di Filipina menemukan konteksnya. Bangsa Moro dapat disebut sebagai mantan penguasa Filipina yang kalah dalam melawan kolonialisme plus kristenisasi yang memboncenginya.
Kepergian kolonialis Spanyol dan Amerika, justru meninggalkan boncengannya, yaitu kristen. Kristen yang dianut kebanyakan warga di Filipina Utara telah membantu warga utara itu memperoleh kekuasaan atas seluruh kepulauan Filipina. Radikalisme ini pada hakikatnya, sebuah artikulasi konflik supremasi antara Filipina Utara-Kristen dengan Filipina Selatan-Islam.
Dalam pemahaman yang lain, tentu saja akan ada perbedaan artikulasi radikalisme politik antara penguasa dengan warga. Radikalisme penguasa dalam konteks ini bisa dibahasakan dengan represif, sementara radikalisme warga dimaknai dengan subversif, pemberontak, bahkan teroris.
Barangkali yang tersisa dari gerakan bangsa Moro adalah pencitraan terhadap gerakan muslim radikal yang mengambil jalan kekerasan. Pencitraan ini selaras dengan penyebutan teroris terhadap para pejuang tersebut yang akhir-akhir ini semakin kuat disorot sebagai terorisme Asia Tenggara.
Aksi terorisme ini tidak lepas dari peran Abdurasul Sayaf, pejuang Muslim Filipina. Abdurrasul Sayyaf atau Abu Sayyaf diduga kuat sebagai penghubung antara Jama’ah Islamiyah dengan al Qaeda melalui organisasi Tandzim al Ittihad al Islami yang dipimpinnya. Tandzim ini merupakan tempat berkumpulnya para alumni Mujahidin Afghanistan. Gerakan ini menginginkan terbentuknya Negara Islam Asia Tenggara.
Akhirnya ini menjadi “PR” baru bagi umat Islam Filipina untuk mengahapus pencitraan jelek terhadap umat Islam sebagai bangsa yang buta huruf, jahat, huramentados (tukang bunuh) dan suka berperang. Gerakan Abu Sayyaf tidak lebih sebagai gerakan perlawanan dengan semangat klasik yaitu perjuangan bersenjata dan tanpa berupaya membangun gerakan alternatif. Wallâhu A’lam!
Padang, Maret 2008
Muhammad Nasir,
Ketua Majelis Sinergi Islam dan Tradisi Indonesia (Magistra Indonesia)
Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam PPs IAIN Imam Bonjol Padang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar